Suara.com - Bagi banyak orang, terutama di Barat, Korea Utara adalah sisa abad ”kegelapan”yang tetap bertahan dan menjadi duri modernisasi. Di sana lah tempat segala kejahatan terjadi. Korut bak ”anak kembar” yang tak diharapkan dan mencoreng saudaranya yang gemilang, Korea Selatan. Namun, benarkah?
Satu bangunan kecil di sudut kota Tarragona, daerah otonom Catalonia (Barcelona), Spanyol, tampak tak berbeda dari konstruksi lainnya. Namun, dari jalanan, bangunan tersebut memajang papan reklame yang bisa membuat orang terbelalak kaget” ”Pyonyang Cafe”.
Seperti namanya, area dalam kafe tersebut dipenuhi oleh ornamen Republik Demokrasi Rakyat Korea, nama resmi Korut. Mulai dari poster-poster hingga mural bendera Korut terpajang di kafe tersebut.
Alejandro Cao de Benos (43), adalah pemilik kafe tersebut. Benos mengatakan, kafe itu bukan sekadar tempatnya mencari uang. Bukan pula sekadar tempat makan. Ia menuturkan, kafenya adalah bentuk perlawanan terhadap mayoritas pemberitaan dunia Barat mengenai keburukan Korut.
“Kafe ini baru dibuka tahun lalu, 2016. Di sini kami biasa mengadakan diskusi mengenai Korut, baik tradisinya, bentuk kebudayaannya, hingga persoalan politik. Kami juga sering memutar film-film produksi Korut,” tutur Benos, seperti dilansir munchies.vice.com.
Menurutnya, beragam pemberitaan buruk mengenai Korut di media-media massa Barat adalah bentuk propaganda Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya.
Sebab, baginya, Korut adalah negara yang berdaulat dan tak mau tunduk terhadap beragam peraturan lembaga internasional yang sebenarnya instrumen sistem kapitalisme dan disponsori AS.
"Anda perlu tahu yang sebenarnya, akses rakyat terhadap makanan dan pekerjaan di Korut jauh lebih terbuka lebar ketimbang di mayoritas negara Barat,” tutur Benos yang sudah seringkali mengunjungi Korut.
Benos mengisahkan, keterlibatannya dalam menentang propaganda Barat terhadap Korut dimulai pada akhir era 1990-an. Ia menginisiasi pembentukan organisasi Korean Frienship Association (KFA), tahun 2000. Kekinian, organisasi itu memunyai 15.000 anggota yang tersebar di berbagai belahan dunia.
KFA secara rutin mengadakan diskusi beragam hal mengenai Korut. Tidak melulu politik, KFA justru banyak mendiskusikan berbagai hal mengenai wisata di Korut yang sangat jarang diungkap ke publik oleh media massa Barat.
Berkat kegigihannya melakukan advokasi, tahun 2002, Benos mendapat penghargaan dari pemimpin tertinggi Korut kala itu, Kim Jong Il. Ia didaulat menempati posisi kehormatan dalam Kementerian Luar Negeri Korut. Sejak itulah ia kerap berkunjung ke Korut.
“Anda akan kaget ketika secara langsung mengunjungi negeri itu. Tidak seperti yang kerap digambarkan oleh media Barat, Korut benar-benar mencerminkan kesetaraan sosial,” tukasnya.
Ia mengatakan, seluruh masyarakat di Korut berhubungan tanpa memandang kelas-kelas sosial seperti yang biasa terjadi di negeri-negeri Eropa.
Melalui interaksinya dengan penduduk setempat, Benos mengklaim warga Korut tidak pernah memunyai prinsip “sukses untuk diri sendiri”.
“Aku kaget saat tahu menteri dan politikus berpengaruh di Korut, yang seringkali disebut menempati istana mewah, ternyata tinggal di apartemen biasa bersama keluarga buruh-buruh pabrik lainnya. Di Korut, perumahan, pendidikan, kesehatan, dll, disediakanoleh negara secara gratis,” tutur Benos.
Setiap warga, kata dia, bisa menjelaskan secara terperinci mengenai politik, ekonomi, dan kondisi sosial budaya mereka sendiri. Termasuk menjelaskan kenapa mereka selalu tegas terhadap AS yang biasa disebut sebagai “monster imperialis.”
”Demokrasi Barat sama represifnya dengan rezim-rezim totalitarian di mana pun. Bedanya, pemerintah dan rakyat Korut ingin bebas dari hal tersebut,” klaimnya.
Benos juga menolak klaim-klaim media Barat mengenai warga Korut yang hidup seperti robot dan tidak bahagia.
Sebaliknya, ia mengatakan hubungan antarwarga maupun kisah percintaan di Korut justru relatif lebih murni ketimbang peradaban Barat. Salah satu parameternya adalah, hubungan antarindividu di Korut tak pernah retak hanya lantaran persoalan uang.
"Dalam banyak masyarakat kapitalis Barat, kebanyakan pasangan bahkan tidak berbagi rekening bank, dan mereka menandatangani perjanjian pranikah untuk berbagi harta. Hal seperti itu tidak ada di kalangan warga Korut.
Benos mengakui, sangat sulit bagi dirinya menyiarkan hal-hal yang menurutnya menjadi gambaran nyata dan benar mengenai Korut.
“Media-media massa Barat selalu membombardir masyarakat dengan beragam berita tak benar mengenai Korut. Itu setiap hari, sehingga susah untuk mengubah pemikiran mereka. Tapi, aku dan kawan-kawan tak mau berputus asa,” tandasnya.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kafe Pyongyang dan Kisah Nyata Kehidupan Warga Korut"
Post a Comment