Suara.com - Jantung Cengiz Yazgi dan orangtuanya, warga etnis Kurdi di Turki, kencang berdegup tatkala menerima kabar satu kapal yang ditumpangi para pengungsi tenggelam di Laut Aegea, Yunani.
Pikiran mereka membuncah, mengkhawatirkan si bungsu yang sudah dua hari tak pulang setelah menyatakan keinginan pergi ke Belgia.
Baris Yazgi, si bungsu, adalah violinis muda berusia 22 tahun. Ia bertekad ke Belgia apa pun caranya, agar bisa melanjutkan ke sekolah musik terkenal di sana.
Sebab, warga keturunan Kurdi—suka tidak suka, setuju atau tidak—tetap menjadi warga kelas dua di negeri Recep Tayyib Erdogan itu, sehingga sulit mewujudkan impiannya yang bebas.
Sejak menyatakan keinginan ke Belgia kepada orangtuanya, Jumat (21/4/2017), Baris tak kunjung pulang ke rumah. Sang ibu yang gundah mencoba menghubunginya melalui sambungan telepon selular, tapi tak terhubung.
Akhirnya, Minggu (23/4), keluarga membaca berita getir di media massa: “pasukan penjaga pantai Turki menemukan mayat pria muda mengambang sembari tetap memeluk sebuah biola.”
Firasat mereka sekeluarga seakan mengatakan, mayat itu adalah si bungsu yang sangat mencintai biola.
"Ibu dan ayah sudah pasrah setelah mendapatkan berita itu. Tapi aku sendiri belum yakin, sampai akhirnya media memublikasikan foto pria muda itu. Aku akhirnya lemas, mayat itu adalah adik bungsuku,” tutur Cengiz Yazgi.
“Meski wajahnya tak lagi seperti yang kami kenali, aku yakin mayat itu adalah adikku. Karena dia memeluk biola. Aku tahu, dia sangat mencintai biola, dan tak akan membiarkan biola itu tenggelam,” tambahnya, seperti dilansir The Independent, Kamis (4/5/2017).
Cengiz tak habis pikir, kenapa sang adik nekat ikut kapal pengungsi tersebut untuk sampai ke Belgia. Padahal, Cengiz pernah berjanji akan melakukan apa pun agar Baris bisa keluar dari Turki dan menjadi seniman di Belgia atau di mana pun sang adik mau.
“Setelah dia tewas, aku berpikir mungkin dia nekat pergi seperti itu karena berpikir tak lagi ada harapan untuk kaum Kurdi di sini,” ujarnya, lirih.
Kapal yang ditumpangi Baris kandas saat melintasi Lau Tengah menuju Yunani, gerbang bagi pengungsi kawasan konflik Timur Tengah ke Eropa.
Selain Baris, 16 pengungsi lain tewas, termasuk dua bocah. Hanya dua orang yang selamat, satu wanita hamil asal Republik Demokratik Kongo dan perempuan Kamerun.
Violinis Berbakat
Terlepas dari persoalan etnis, Baris adalah sosok yang sama seperti remaja-remaja lain seusianya. Sebagai anak bungsu, Baris cenderung manja dan kerap tersandung masalah di luar rumah.
Tapi, persamuhannya dengan biola membuat kehidupan Baris berubah. Ia tak lagi ugal-ugalan di jalan, melainkan tekun membaca balok-balok not.
Secara otodidak dan di bawah bimbingan sang kakak yang juga musikus, Baris perlahan mulai menguasai cara bermain biola. Ia lantas mengamen di jalan-jalan untuk mendapatkan uang, sehingga bisa membayar kursus biola.
Meski sudah memunyai nama sebagai violinis dan mengikuti kursus biola di daerahnya, Baris tak puas. Ia benar-benar ingin mencicipi bangku sekolah musik agar bisa menjadi profesional. Setelah mendapat pertimbangan orang lain, ia memilih Belgia.
“Tapi, persoalannya, dia tak memunyai pekerjaan dan tidak punya asuransi, sehingga tak mungkin mendapatkan visa secara legal,” terang Cengiz.
Seorang gadis teman sekolah dan mengaku mantan kekasih Baris, menuturkan persona si pemuda.
“Dia tak pintar-pintar amat dalam pelajaran lain. Tapi, semua orang mengakui dia berbakat bermain biola. Kami sangat senang kalau ia memainkan biola,” tuturnya.
Baris, kata dia, juga sosok pria yang sangat agresif sehingga kerapkali terlibat persoalan di dalam maupun luar sekolah. Tak jarang Baris terlibat perkelahian.
“Meski begitu, dia adalah kekasih yang hangat. Percayalah, ketika dia sudah mencintai seseorang, Baris bisa melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya,” tutur gadis itu.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mengungsi, Musikus Muda Kurdi Mati Tenggelam Sembari Peluk Biola"
Post a Comment