Suara.com - Siapa yang tidak tahu jasa porter di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Jasa mereka selalu dibutuhkan, apalagi pada masa mudik Lebaran seperti sekarang. Mereka sangat meringankan beban masyarakat yang membawa barang-barang berat.
Bagaimana kehidupan mereka sekarang di tengah himpitan ekonomi dan persaingan kerja? Porter bernama Muhamat Mujaidin bercerita ketika ditemui Suara.com di Stasiun Gambir, pada Rabu (21/06/2017).
Lelaki berusia 30 tahun itu berprofesi sebagai porter sejak sepuluh tahun yang lalu.
“Awal jadi porter memang karena di kampung saya nggak ada pekerjaan, dan akhirnya saya pun merantau ke Jakarta untuk bekerja. Dan mungkin jalan Tuhan saya kerja di sini,” tuturnya.
Penghasilan dari bekerja sebagai porter tidak banyak, tetapi cukup untuk hidup sederhana.
Dia bersyukur meskipun belum bisa membeli rumah sendiri di Ibu Kota, tetap mampu secara rutin mengirimkan uang untuk keluarga di kampung halaman.
“Penghasilan biasanya saya kasih ke kampung buat emak, jadi sebisa mungkin saya irit-irit hidup di Jakarta, soalnya kalau boros di sini biasanya keteteran dan juga kadang saya kerja sampai 24 jam dari jam delapan pagi sampai jam delapan pagi lagi,” kata Muhamat.
Dia menjalani pekerjaan dengan ikhlas. Dengan keikhlasan itulah, dia bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup.
Dia bahagia bukan hanya karena bisa berbagi nafkah dengan orangtua di kampung, tetapi sebagian penghasilannya juga bisa untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya.
"Ya walaupun sehari dapat dikit dan nggak tetap penghasilannya, saya masih bisa membiayai uang sekolah adik-adik saya, dan saya juga bersyukur masih mempunyai pekerjaan walaupun tidak tetap,” kata dia.
Berapa orang yang menggunakan jasanya setiap hari? Muhamat mengaku sehari rata-rata mendapatkan pelanggan tiga sampai lima orang.
Muhamad tidak iri dengan pendapatan orang lain yang naik, sementara dia tidak naik walaupun ini menjelang Lebaran.
“Hari raya kayak gini, pendapatan saya nggak menambah seperti hari-hari biasa saja. Mungkin juga karena banyaknya jasa porter di sini jadi dapat pelanggannya pun nggak rata, kadang dapat, kadang nggak,” kata dia.
Suka dan duka
Siang ini, banyak sekali warga yang akan pulang ke kampung halaman lewat Stasiun Gambir. Di antara pemudik, terlihat lalu lalang porter di sekitar pintu masuk selatan dan utara.
Sebagian porter terlihat istirahat. Salah satu porter yang tengah beristirahat yang ditemui Suara.com bernama Nuhroman (54). Nuhroman bercerita, sudah dua tahun menjalani profesi ini.
Dia tinggal daerah Ratu Raya, Kecamatan Cipayung, Depok, Jawa Barat. Setiap hari dia pulang pergi ke Stasiun Gambir dengan kereta rel listrik.
“Saat ini ramai, sebelum seminggu ini sepi. Karena kereta ini untuk hari-hari libur atau hari-hari besar," tuturnya.
Nuhroman merasakan suka dan duka dalam menjalani profesi porter. Sukanya ketika hari libur tiba. Biasanya di hari libur banyak orang yang pakai jasanya. Otomatis, pendapatannya pun meningkat.
Rasa duka dia rasakan kalau tidak laku. Dia pernah mengalami hari-hari sama sekali tidak ada yang menggunakan jasanya.
Porter bernama Muhayan (24) menambahkan bagian suka dalam menjalani profesi ini ketika semuanya lancar, dukanya kalau sepi pelanggan.
Berapa tarif sekali menggunakan jasa porter, kata Nuhroman, rata-rata Rp30 ribu.
"Tapi ada yang kasih kurang dari Rp30 ribu, dan ada juga yang kasih lebih," kata dia. (Rani Febriyani dan Yunita Susan)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Suka Duka Bekerja Menjadi Porter Stasiun Gambir"
Post a Comment