Search

HEADLINE: Haters dan Hoaks Marak Jelang Pilpres 2019, Wajar atau Settingan?

Pengamat dan Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, untuk menghadapi hoax dan haters harus dimulai dari masing-masing calon yang bersangkutan.

Baik Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga harus mengimbau kepada masing pendukungnya untuk tidak menyebarkan hate speech, fitnah, hoax dan hal-hal yang bisa memecahkan persatuan.

"Itu memang harus ada pernyataan dari keduanya. Sehingga nanti dari keduanya pun, pendukung-pendukung ini akan tidak menggunakan hal itu. Sehingga nanti ke depan pertarungan lebih pada pertarungan gagasan. Apa keunggulan dari Pak Jokowi silakan dimunculkan, apa keunggulan dari Pak M'aruf Amin silakan dimunculkan, termasuk apa keunggulan dari Pak Prabowo juga dimunculkan termasuk juga keunggulan dari Bang Sandi ya dimunculkan," kata Ardian kepada Liputan6.com, Rabu (5/9/2018).

Dengan demikian, masyarakat pada akhirnya disuguhkan kelebihan kelebihan bukan kekurangan. Kekurangan juga perlu ditampilkan, akan tetapi jangan sampai menjadi hiperrealitas dan memunculkan fitnah, hoax, dan sebagainya.

"Kalau misalnya tetap fitnah dan hoax yang dimunculkan, mungkin satu dua kali terpuaskan sisi dari keingintahuan publik, tapi lama kelamaan ini akan memecah belah," kata dia. Dia menambahkan, kalau hal negatif terus ditonjolkan, bukan tidak mungkin juga bisa terjadi pertarungan di dunia nyata.

Ardian mengatakan, media sosial hal yang liar karena tidak bisa dikontrol sepenuhnya. Setiap orang bisa menjadi penulis, editor, media sendiri, dan menyebarluaskannya. Karena itu, tim siber dari kepolisian perlu ditingkatkan kembali. Sehingga ke depan tidak ada lagi hoax yang membahayakan.

Dia menilai, peluang hoax menjadi penentu pemenangan di Pilpres tidak besar. Pada awal-awal info hoaks mungkin akan mempengaruhi masyarakat, akan tetapi ketika membaca beberapa kali berita bohong, akan menjadi jengah. Hingga pada akhirnya akan meninggalkan pelaku-pelakunya.

"Sebelum nanti ditinggalkan masyarakat, cepat cepatlah tobat. sehingga memang masyarakat masih menjadikan media sosial sebagai media informasinya, karena nanti kalau sudah tidak dipercaya, mereka akan meninggalkan ini," kata Adrian.

Apa Saja Penyebab Haters Muncul?

Haters tak hanya bisa menjamur karena membenci satu karakter, seperti selebritas atau tokoh politik tertentu. Psikolog Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai, haters juga bisa muncul karena impitan ekonomi.

"Selain orang yang membenci satu karakter, ada juga kalangan yang awalnya bukan haters, bisa ikut gerakan pelintiran kebencian karena impitan ekonomi," ujar Hamdi kepada Tekno Liputan6.com via sambungan telepon, Selasa 4 September 2018.

Gawatnya, dengan bisnis pelintiran kebencian ini, orang yang mulanya hanya memiliki kadar kebencian setengah menjadi full alias benar-benar benci kepada selebritas atau tokoh politik tertentu.

"Ada juga orang yang secara ekonomi berada di taraf bawah, tapi terpaksa jadi haters beneran karena ada tawaran pelintiran isu. Kebencian mereka biasanya didasari terhadap kelompok luar," ucap pria yang juga berprofesi sebagai guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Hamdi Muluk menyebut, prakondisi itu adalah orang-orang yang mudah sekali membenci kelompok luar dan menumbuhkan intoleransi dan prasangka. Biasanya, orang-orang macam ini masa kecilnya mendapat didikan secara otoriter. Dalam psikologi, hal ini disebut authoritarian personality.

Umumnya, karakteristik tersebut suka menjangkiti orang-orang sayap kanan konservatif atau disebut right wing authoritarian. Hamdi menilai, biasanya mereka mudah dijangkiti kebencian.

"Orang-orang fanatis, dogmatis, terlalu curiga dengan hal-hal yang berbau kebebasan. Mereka juga sangat rigid, pandangannya kaku, apalagi terhadap agama," ucapnya memaparkan.

Terkadang, kata Hamdi, orang dengan authoritarian personality itu tak langsung kelihatan. Biasanya mereka hanya di dunia online.

"Ada momen di mana kelompok itu terkadang merasa terancam. Di dunia offline kemungkinan berekspresi terbatas, jadi dia enggak bisa beringas di dunia nyata. Sementara di dunia maya kadang identitasnya disamarkan, jadi mereka bisa 'ngegas' dan menumpahkan energi negatif. Bisa jauh lebih brutal dari dunia offline," Hamdi menjelaskan.

Ia menilai, dunia maya penuh dengan anonimitas, menyebabkan orang yang tadinya tidak percaya diri jadi percaya diri, yang tadinya tidak "brutal" jadi lebih sadis.

Let's block ads! (Why?)

https://www.liputan6.com/news/read/3637533/headline-haters-dan-hoaks-marak-jelang-pilpres-2019-wajar-atau-settingan

Bagikan Berita Ini

0 Response to "HEADLINE: Haters dan Hoaks Marak Jelang Pilpres 2019, Wajar atau Settingan?"

Post a Comment

Powered by Blogger.