Suara.com - Presiden RI Joko Widodo mulai berani tampil beda dalam keriuhan panggung politik nasional. Biasanya, ia tampil sebagai sosok yang bertutur lembut. Tapi kekinian, ia berani langsung “menyerang” pihak yang diduga keras bersikap berseberangan dengan pemerintah.
"Yang melawan konstitusi akan digebuk. Kalau PKI (Partai Komunis Indonesia) nongol gebuk saja!" tegas Jokowi saat menerima pemimpin redaksi berbagai media, Rabu (17/5/2017), seperti dilansir Antara.
Selama ini, jika merasa ada yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintahan yang dipimpinnya, Jokowi paling-paling meminta pihak yang berseberangan itu untuk mengikuti aturan hukum.
Pentas politik Indonesia yang tak pernah lepas dari kegaduhan. Pun beberapa bulan terakhir, percaturan politik nasional diramaikan beragam peristiwa kontroversial. Terutama, mengenai vonis bersalah terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam perkara penodaan agama.
Kasus Ahok tersebut, memicu ketegangan situasi setidaknya seja November 2016. Demonstrasi berskala besar anti-Ahok turut meriuhkan pentas politik.
Sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan di Indonesia, Jokowi tak tinggal diam untuk menstabilisasi keadaan.
Sang Presiden mendatangi organisasi-organisasi kemasyarakatan mulai dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama. Ia juga menyambangi satuan-satuan elite Tentara Nasional Indonesia seperti Kopassus TNI-AD, Pasukan Khas TNI-AU, Korps Marinir TNI-AL hingga Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia.
Namun sekarang, sedikit demi sedikit suasana mulai tenang atau dalam bahasa kerennya "kondusif", antara lain dengan tidak adanya lagi unjuk rasa atau demonstrasi berskala besar. Walaupun di Jakarta terjadi sedikitnya demonstrasi besar-besaran, praktis tidak terjadi kerusuhan yang menimbulkan keresahan atau ketakutan luar biasa di kalangan masyarakat.
Secara perlahan tapi pasti, para menteri di dalam Kabinet Kerja mulai menempuh langkah strategis untuk mengamankan suasana agar semua program pemerintah yang terutama berkaitan dengan pembangunan fisik mulai dari prasarana dan sarana tetap dapat berlangsung lancar dan baik.
Namun, penggunakan diksi "gebuk" oleh Jokowi itu terlanjur mengusik ingatan banyak orang, terutama yang tumbuh besar dalam pergulatan era Orde Baru.
Masih pada bulan Mei tapi tahun yang berlainan yaitu 21 Mei 1998, Indonesia mulai memasuki tahap baru kehidupan politik yaitu turunnya Soeharto sebagai Presiden yang dahulu menggantikan Soekarno. Ia kemudian digantikan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie yang baru beberapa bulan menjadi Wakil Presiden.
Kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 itu praktis tidak diikuti demonstrasi besar-besaran sebagai eforia atas jatuhnya sang jenderal yang telah berkuasa selama sekitar 30 tahun.
Habibie tidak lama menjadi Presiden karena kemudian dia dijatuhkan dalam sidang MPR pada bulan Oktober tahun 1999.
Sejak itu muncul beberapa presiden secara berurutan yaitu Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono dan kini Joko Widodo yang memiliki masa jabatan hingga Oktober tahun 2019.
Adakah kaitan antara situasi politik saat ini dengan era Soeharto? Jawabannya adalah Ada.
Jokowi yang biasanya terkesan bertutur lembut sekarang memakai istilah “gebuk”. Ucapan yang langsung mengingatkan pada Soeharto.
Dulu, Soeharto juga dikenal murah senyum, bahkan disematkan predikat “The Smiling General.” Tetapi, suatu ketika, ia menggunakan kata yang sama (gebuk), persisnya tanggal 13 September tahun 1989 yang juga dilontarkan kepada sejumlah wartawan di sela-sela lawatan ke beberapa negara.
Ketika itu, demonstrasi-demonstrasi berskala kecil dan sporadis berkembang di banyak daerah, bak cendawan di musim penghujan.
Aksi massa itu secara langsung maupun tidak, menohok kekuasaan Soeharto. Karenanya, kata “gebuk” dipakai oleh Soeharto sebagai simbolisasi politik represinya terhadap pihak oposan.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jokowi, Soeharto, dan Kata 'Gebuk'"
Post a Comment